Plus-Minus Film 'Tjokroaminoto' Sisi Harokah & Sejarah [Sebuah Review]
Oleh Muktia Farid
(ibu rumah tangga, dosen)
Hari Minggu (12/4/2015) kemarin, mumpung mbah putri datang dari kampung dan 2 gadis remajaku datang liburan akhir pekan dari boardingnya, kami menyempatkan diri untuk menonton salah satu film yang memang sudah saya incar untuk ditonton. Film Tjokroaminoto, Sang Guru Bangsa, sabetan Garin Nugroho.
Selain memang ini film tentang salah satu sosok bersejarah yang saya kagumi, dan kebetulan saya sangat suka dengan (pelajaran) sejarah, film ini juga menarik karena dikeroyok oleh sutradara dan para pemain gaek yang tak diragukan lagi aktingnya semacam Alex Komang, Christine Hakim, dan Didi Petet. Bayangan saya, pasti apik lah nanti mainnya. Eh, ndilalah Kak Hurin, sulung saya, bercerita, bahwa liburan ini dia mendapatkan PR dari gurunya untuk nonton film tersebut. Cucoklah kalau begitu :)
Nah, berikut sedikit ulasan tentang beberapa hal menarik yang saya catat di film ini. Tentu ini ulasan ala emak-emak, bukan ulasan profesional apalagi kritikus film.
Sisi Plus
(1) Di film ini, filosofi 'batik' ternyata dalam sekali dan islami. Batik = Basmalah titik. Sebagai penyuka batik, saya jadi melongo setelah tahu. Artinya adalah, kita diminta untuk memulai sesuatu dengan menyandarkan sepenuhnya pada Sang Pencipta, karena kita tak akan pernah tahu apa yang akan terjadi di wolak-waliking jaman ini.
(2) Sunnatullah, cobaan untuk orang-orang yang (sangat) cerdas (semacam Sema’oen cs) biasanya tak sabar untuk bergerak bersama dalam jamaah/organisasi yang besar. Bersama dirasakan melamban sehingga memilih menyempal. Semaoen, Darsono dll (murid Tjokroaminoto) yang Pak Tjokro pun mengakui bahwa mereka adalah anak-anak muda yang cerdas, akhirnya memilih membentuk SI (Sarekat Islam) Merah, yang cenderung sosialis kiri.
Ini menjadi poin instropeksi buat kita khususnya saya, bahwa bekerja sama apalagi dalam sebuah organisasi yang besar itu sangat membutuhkan kesabaran dan kelapangan dada, tak hanya mengandalkan tingginya intelektual semata. Kalau bahasa jawanya, “ojo keminter ndak keblinger”, jangan merasa sok pintar, nanti akan terjerumus.
(3) Saat menonton film ini, terpaksa saya harus menjelaskan ke anak-anak jika sebelum menikah dengan Inggit, Koesno (Soekarno) telah menikah dengan Oetari, putri sulung HOS Tjokroaminoto (saya tahu soal Oetari ini saat SMP, saat saya membaca buku biografi Inggit Garnasih-red). Tapi, Kak Hurin komentarnya justru bagus, “Jadi Pak Karno banyak belajar dari mertuanya ya, sebenarnya”. Yep, you’ve get the point! :D
Koesno (Soekarno) muda, sebagai salah satu anak kos-kosan yang tinggal di rumah Tjokro sekaligus dikader langsung oleh bapak kos, memdapat banyak ilmu dari mertuanya. Bahkan, gaya orasi Soekarno yang kita kenal gegap gempita itu pun, meniru gaya Tjokro. Pun cara menuangkan gagasan dan pikiran secara tertulis, Koesno muda banyak belajar dari Tjokro yang saat itu sudah dikenal sebagai seorang jurnalis, pemilik salah satu koran terkemuka di Surabaya. Pun kepiawaian Tjokro terhadap hukum dan mesin, juga di’incar’ untuk ditiru Koesno. Kelak, setelah dari Surabaya, Koesno muda pindah ke Bandung untuk menimba ilmu teknik sipil di ITB (dulu namanya Technische Hoge School). Di sanalah dia nanti bertemu Inggit, dan melupakan Oetari. Kisah Oetari yang cukup menarik dapat dibaca disini.
(4) Menarik banget saat running text lagu Ilir-Ilir. Maka yang tertulis bukanlah ejaan lagu ilir-ilir dalam bahasa jawa, tapi langsung filosofi lagu tersebut yang tentu saja sangat Islami dan harokiy (penuh nuansa pergerakan). Bravo untuk yang punya ide running text yang nggak biasa ini. Agar tidak penasaran, saya coba tuliskan arti filossofis tersebut, meskipun mungkin tidak sama persis dengan running text di film tersebut. Nggak keburu untuk ngapalinnya kemarin :D Begini artinya kurang lebih:
Lir ilir, lir ilir. Tandure wis sumilir
Bangun, bangunlah (dari keterpurukan). Saatnya telah tiba
Tak ijo royo-royo tak sengguh kemanten anyar
Panji Islam mulai berkembang, menarik hati semua orang
Cah angon, cah angon penekno blimbing kuwi
Wahai para pemuda, amalkan Islam dengan benar
Lunyu-lunyu penekno kanggo mbasuh dodo iro
Meski berat perjuangan, tetaplah terus berbuat (amal), untuk menyucikan jiwamu
Dodotiro, dodotiro kumitir bedahing pinggir
Saat pakaian (akhlakmu) terkoyak
Domdomona jlumatono kanggo sebo mengko sore
Perbaikilah, sempurnakanlah (Islammu), demi masa depan (akhirat)
Mumpung gede rembulane, mumpung jembar kalangane
Senyampang usiamu masih muda, selagi masih ada kesempatan
Yo sorak ooooo, sorak hiyooo
Hingga kita temui kebahagiaan
Nah, dalam sekali bukan? Jika kita merasa sebagai bagian dari orang pergerakan, rugi kalau nggak tahu syair lagu ilir-ilir ini :)
(5) SI (Sarekat Islam) sebagai sebuah pergerakan awal tahun 1900-an tentu sangat fenomenal karena sudah berhasil menghimpun 2 juta anggota, dimana saat itu jumlah penduduk jawa lebih kurang 30 juta. Allahu Akbar! Cara merekrutnya bagaimana dan daya magnetnya apa, itu yang perlu jadi titik tekan.
(6) Entah kisah sebenarnya bagaimana, tapi di akhir film digambarkan tentang kerelaan seorang istri pejuang yang justru meminta suaminya untuk tetap menemui masyarakat (apalagi saat itu situasi sedang genting), meskipun istri tersebut sedang sakit keras. Hingga akhirnya Tjokro sang suami, meski ada di rumah tersebut, tak sempat ‘menangi‘ (menyaksikan langsung) kematian istrinya. Perilaku Suharsikin istri Tjokro adalah contoh bagi para pejuang perempuan di manapun. Saat pasangan jiwa telah menyerahkan dirinya untuk dakwah dan pergerakan, maka kepentingan pribadi harus siap dinomorduakan. Dibalik nama besar seorang laki-laki, selalu ada perempuan yang mampu memberi arti :)
(7) Tjokro seorang bapak kos yang tak biasa. Selain secara profesional dia tentu mendapatkan bayaran uang kos, tetapi anak-anak kosnya adalah anak-anak terpilih, yang dia tempa dan dia kader sepenuh hati dan dianggap sebagai sebuah keluarga besar. Maka dapat kita saksikan, saat SI berdiri pun, anak-anak muda yang berada di kosnya tersebut yang menjadi orang-orang terpilih untuk menghidupkan dan menggerakkan organisasi, menjadi teman diskusi di hampir tiap malam. Meskipun pada akhirnya, seperti yang caya ceritakan di atas, kader-kader muda tersebut sebagian memilih menyempal karena perbedaan pemikiran.
Hal ini mengingatkan saya pada mbah kakung, KHM. Asyhoeri Soeyothi, yang juga menjadi bapak kos untuk banyak anak muda waktu itu di Magelang, sekaligus menjadi guru mereka. Hingga anak-anak muda ini aktif pula di HW (Hizbul Wathon), sayap pemudanya Masyumi, karena mbah adalah salah seorang pengurus Masyumi kala itu.
(8) Fenomena menarik lain adalah tentang Agus Salim, putra Sumatera yang kita tahu tak ‘makan’ sekolahan (hanya belajar otodidak), tetapi saat berbeda pendapat dengan Sema’oen cs tentang program organisasi manakah yang harus didahulukan, apakah pertanian atau pendidikan? Agus Salim mantap dan lantang mempertahankan pendapatnya: pendidikan.
(9) Dua kata wasiat Rasul saw yang selalu menjadi ilham menggerakkan sekaligus sumber kegundahan hati seorang Tjokro muda untuk terus berpikir memperbaiki kaumnya adalah: Hijrah, dan Iqro. Ini tentu nyunnah banget!
(10) Entah ini fakta atau fiktif, ada sosok jaksa (atau apa namanya?) di penjara Kalisosok yang menginterigasi Tjokro, yaitu Abdullah, laki-laki Arab asal Yaman, yang lebih memihak pada penjajah Belanda. Abdullah tersudutkan oleh makna ‘hijrah’ yang ditulis Tjokro di plengkung atas pintu, saat dia marah dan minta tulisan tersebut dihapus. “Dik Abdullah dari Yaman kan? Tentu lebih paham makna hijrah dari pada saya”, jawab Tjokro lugas. Dari sana kita belajar, bahwa trah atau suku bangsa tidak menjadi jaminan soal pemahaman keagamaan, apalagi pelaksanaannya. Tak serta merta kalau orang arab itu islami, karena di Arab sejak jaman Rasul juga ada model Abu Lahab dan Abu Jahal :D Kita orang Indonesia yang kadang overestimate dengan arab, khususnya yang muslim. Padahal nyatanya tak bisa digeneralisir seperti itu.
Sisi Minus
Sesuatu ada kurang lebihnya, biasa kan ya. Kalau tadi yang saya tulis plusnya, nah sekarang dari sisi minusnya.
(1) Film ini durasinya cukup lama, nyaris 3 jam sehingga bagi muslim yang mau nonton juga mesti mencari jam yang tepat supaya nggak nabrak pelaksanaan sholat 5 waktu. Durasinya yang lama juga membuat kita perlu mikir-mikir ngajak anak apalagi balita. Kayaknya lebih baik nggak usah. Apalagi ini film ‘berat’ dengan banyak dialog, bukan film aksi yg biasanya disukai anak-anak.
(2) Tjokro dalam film tersebut digambarkan sangat pluralis hingga mengatakan yang kurlebnya: “Semua pikiran itu benar. Mau islami, komunis, sosialis itu semua benar. Yang salah jika tangan telah digunakan untuk kekerasan”. Saya malah menyangsikan bahwa pak Tjokro pernah bicara seperti itu. Karena konsep dia bergerak justru hijrah, sesuatu yang sangat sunnah dan dipahami dari sirah Rasul. Lalu Sema’oen cs berpisah juga karena cenderung kekirian. Atau, ada yg bisa memberikan link bukti kesaksian sejarah soal ini? Maklum ini mah resensi ala ibu rumtang yg sok gaya ngomentari film :D
(3) Salah satu murid sekaligus anak kos Tjokro yang tercatat dalam sejarah adalah Sekar Madji (SM) aka Kartosoewiryo, yang di buku-buku sejarah lebih dikenal sebagai tokoh pemberontakan DI/TII. Untuk Sema’oen cs yang kekirian jelas diperlihatkan, tapi untuk SM yang cenderung ‘kanan’ jusru sama sekali tak diperlihatkan. Ada apa? Karena ini memang secara fakta ada, sayang sekali jika ada fakta yang tampak ditutup-tutupi. Seolah-olah takut jika sosok SM ada maka akan menjadi inspirasi banyak orang untuk berontak seperti DI/TII lagi. Lah itu sosok Sema’oen, Muso dll ada diceritakan, apa tidak akan menimbulkan inspirasi juga untuk berontak seperti G30SPKI? *serius nanya*
(4) Buat saya, adegan Tjokro bolak-balik nonton stamboel juga saya pertanyakan. Apa benar sejarahnya begitu? Lagi-lagi saya butuh link sejarah soal ini.
*Mungkin masih nambah lagi daftarnya. Nanti kalau ada yang ingat lagi :D
Terakhir, dengan segala plus minusnya, film ini sangat layak tonton. Sayangnya duh sayangnya, film ini jauh dari ramai. Di bioskop Lotte Bintaro XXI tempat saya nonton kemarin, hanya beberapa kursi yang terisi. Sangat jauh dari film Fast & Furious yang antrenya sampai keluar pintu, katanya.
Mungkin, seperti juga guru anak saya yang kepikiran untuk menjadikan film ini sebagai PR, ada baiknya guru-guru sejarah di sekolah mengajak murd-muridnya nonton ini. Jangan film G30SPKI melulu yang tiap tahun kudu ditonton sampai hapal betul scene per scene, hingga akhirnya memilih untuk tidur saja begitu film G30S nya diputar :D
Semoga film-film bagus semacam ini tak cepat-cepat dicabut dari bioskop XXI atau 21 karena minimnya jumlah penonton.
Yuk nonton :)O
*Sumber: https://muktiberbagi.wordpress.com/2015/04/13/makna-film-tjokro-bagi-kita/
Belum ada tanggapan untuk "Review Film Hos Cokroaminoto"
Post a Comment